Kelompok pejuang Palestina, Hamas, menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Pada 7 Oktober lalu, dengan persenjataan lengkap, kelompok ini berhasil menembus perbatasan antara enklave Palestina, Gaza, dan Israel lalu melakukan penyerangan ke wilayah Negeri Yahudi itu.
Hal ini mengejutkan banyak pihak mengingat kemampuan keamanan Israel yang dikenal sangat baik. Beberapa pihak pun menunjuk musuh nomor satu Tel Aviv di kawasan, Iran, sebagai pihak yang menyokong Hamas dalam merencanakan serangannya.
Para pemimpin Iran telah memperingatkan bahwa dunia kini semakin dekat dengan perang regional di Timur Tengah akibat konflik ini dan Israel telah melanggar garis merah. Dalam kata-katanya, Presiden Iran Ebrahim Raisi, “dapat memaksa semua orang untuk mengambil tindakan”.
Namun, Iran berada dalam situasi yang sulit. Negara tersebut diyakini ingin menghindari konfrontasi langsung namun, di sisi lain, mereka bersandar pada milisi proksi di seluruh wilayah tersebut.
Penggunaan kekuatan proksi, termasuk Hizbullah di Lebanon, Hamas, dan Jihad Islam Palestina di Gaza, telah menjadi ciri khas kebijakan luar negeri Iran. Iran mengatakan bahwa meskipun mereka mendukung proksi “kekuatan perlawanan” ini, mereka bertindak secara independen.
Ketergantungan Hamas pada Iran
Asal usul Hamas terletak pada Ikhwanul Muslimin, sebuah kelompok Muslim Sunni, dan akar tersebut di masa lalu sebenarnya menjadi penghambat hubungan dengan Iran. Pecahnya perang Suriah pada tahun 2011, misalnya, memperburuk hubungan Hamas-Iran, karena Teheran yang dipimpin Syiah mendukung rezim Assad dan Hamas mendukung oposisi mayoritas Sunni.
Pada saat konflik Gaza tahun 2012, Hamas meluncurkan roket jarak jauh Fajr-5 Iran ke Tel Aviv dan Yerusalem. Setelah krisis Gaza tahun 2021, pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh memuji Iran karena memungkinkan pemboman yang intens dan menurutnya Teheran “tidak menahan diri dalam hal uang, senjata, dan dukungan teknis”.
Hamas sendiri mengatakan seorang jenderal dari cabang utama angkatan bersenjata Iran, Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), telah “mempersenjatai dan membimbing mereka”. Pada bulan Januari 2021, komandan pasukan kedirgantaraan IRGC Amir Ali Hajizadeh menyatakan: “Semua rudal yang mungkin Anda lihat di Gaza dan Lebanon diciptakan dengan dukungan Iran.”
Mantan Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, dalam sebuah pembicaraan pekan lalu mengatakan bahwa Israel telah kalah sejak mitos negaranya yang tak terkalahkan telah dihancurkan. Dengan sejalannya Iran dengan negara-negara Arab yang sebelumnya terpecah, Iran berada dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan sebelumnya.
Proksi Iran Selain Hamas
1. Hizbullah di Lebanon
Hizbullah sering digambarkan sebagai permata di mahkota, dengan pemimpin spiritualnya sejak lama, Hassan Nasrallah. Hizbullah memiliki partai politik dan kekuatan militer yang, selama lebih dari tiga dekade, telah membangun hubungan dengan Iran berdasarkan kepercayaan dan kepentingan bersama.
Kampanye serangan, pemboman, pembajakan, dan konfrontasi militer langsung dengan Israel pada tahun 1990-an dan 2000-an telah mencapai tujuan strategis Teheran di Timur Tengah tanpa adanya konfrontasi militer langsung dengan Israel.
Sejak 7 Oktober, tembakan roket dari Lebanon selatan meningkat, dan pejuang Hizbullah terbunuh. Namun Iran enggan melakukan perang kedua seperti yang terjadi pada tahun 2006 yang menghancurkan Lebanon.
2. Houthi di Yaman
Dengan biaya yang tidak sedikit, Iran telah menyediakan senjata kepada pasukan pemberontak Syiah Houthi yang dikenal sebagai “Ansar Allah” yang telah mengikat Arab Saudi, dan pada tingkat yang lebih rendah, Uni Emirat Arab, selama bertahun-tahun.
3. Rezim Assad di Suriah
Presiden Suriah, Bashar Al Assad, berutang budi pada Iran karena Teheran memasok pasukan darat sebanyak 80.000 orang, sebagian besar dari Hizbullah, yang bekerja sama dengan angkatan udara Rusia untuk menumpas pemberontakan. Sebuah studi oleh Joosor Center menunjukkan Iran memiliki 98 situs militer di Suriah timur.
4. Nujaba di Irak
Gerakan Nujaba, paramiliter Syiah yang didukung Iran, mengkritik penolakan Perdana Menteri Irak, Muhammad Shia’ Al-Sudani, terhadap serangan terhadap pangkalan militer AS di negara tersebut dengan mengklaim bahwa “ada cukup izin hukum dan agama untuk melakukan perlawanan”. Namun ada konstituen kuat di Irak, terutama generasi muda, yang menginginkan pengaruh Iran diakhiri.
Hubungan Iran dan Proksinya
Emile Hokayem, dari Institut Internasional Studi Strategis, telah melakukan penelitian mendalam untuk menelusuri hubungan antara Iran dan proksinya. Menurutnya, Teheran punya gaya sendiri dalam membina hubungannya dengan proksi.
“Ini memberdayakan, mendukung, membimbing, tetapi jarang memerintah. Masyarakat Barat mempunyai masalah karena cara mereka mengkonseptualisasikan rantai komando ini,” ujarnya dikutip The Guardian, Rabu (1/11/2023).
Mitra Iran bagaikan saudara seperjuangan junior namun dapat dipercaya. Hamas dan bahkan Hizbullah tidak mengharapkan bantuan langsung dan berkelanjutan dari Iran selama konflik. Meski begitu, mitra Iran ini mengambil keputusan dan meminta persetujuan Iran.