Dunia saat ini menyaksikan perang di sejumlah wilayah. Sebagian bahkan masih terus berlangsung seperti yang terjadi antara Rusia-Ukraina, Armenia-Azerbaijan, dan yang terbaru Israel di Gaza.
Walau begitu, dunia kemungkinan besar akan memiliki perang-perang baru yang muncul pada tahun 2024 mendatang. Komite Penyelamatan Internasional (IRC) awal bulan ini merilis daftar pantauan darurat untuk tahun 2024, yang mengamati 20 negara yang memiliki risiko terbesar terhadap memburuknya keamanan.
Negara-negara ini menyumbang sekitar 10% dari populasi dunia. Tetapi, negara tersebut berperan dalam menyumbang sekitar 70% dari pengungsi dan sekitar 86% dari kebutuhan kemanusiaan global.
Presiden dan CEO IRC, David Miliband, mengatakan bahwa bagi banyak orang yang dilayani oleh organisasinya, ini adalah masa terburuk. Karena paparan risiko iklim, impunitas di zona konflik dan utang publik yang meningkat akan bertabrakan dengan menurunnya dukungan internasional.
“Berita utama saat ini didominasi oleh krisis di Gaza. Ini membuat Gaza mungkin menjadi satu-satunya adalah tempat paling berbahaya di dunia bagi warga sipil,” kata Miliband dikutip dari CNBC International, Jumat (29/12/2023).
“Tetapi daftar pantauan ini merupakan pengingat penting bahwa wilayah lain di dunia juga mengalami krisis, karena alasan struktural terkait konflik, iklim, dan ekonomi. Kita harus mampu mengatasi lebih dari satu krisis sekaligus,” tambahnya.
Hal sama juga dikatakan direktur penelitian di International Crisis Group, Isabelle Arradon. Kepada laman yang sama, awal bulan ini, ia mengatakan bahwa korban jiwa akibat konflik secara global berada pada titik tertinggi sejak tahun 2000.
“Semua tanda bahaya sudah ada, dan terlebih lagi, kurangnya sarana untuk menyelesaikan konflik. Ada banyak persaingan geopolitik dan berkurangnya keinginan untuk menyelesaikan konflik mematikan ini,” tambahnya.
Berikut beberapa perang yang mungkin dapat pecah pada tahun 2024 sebagaimana dirangkum IRC:
Sudan
Nomor satu dalam daftar pantauan IRC adalah Sudan. Di mana terjadi pertempuran antara dua faksi militer di negara tersebut pada bulan April 2023 dan perundingan perdamaian yang ditengahi secara internasional di Arab Saudi tidak menghasilkan solusi.
“Konflik tersebut kini telah berkembang menjadi “perang perkotaan berskala besar yang hanya mendapat sedikit perhatian internasional dan menimbulkan risiko serius dampak regional,” kata IRC, dengan 25 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan yang mendesak dan 6 juta orang mengungsi.
Pasukan Dukungan Cepat, yang dipimpin oleh Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo (dikenal sebagai Hemedti) dan diduga didukung oleh UEA serta panglima perang Libya Khalifa Haftar, telah memperluas serangan multi-cabang dari pusat konflik di ibu kota Khartoum. Serangan mereka bahkan meninggalkan jejak pelanggaran perang.
Republik Demokratik Kongo Vs Rwanda
Pemilu yang kacau di Republik Demokratik Kongo pekan lalu menandai dimulainya siklus baru di negara itu. Kondisi politik yang memanas diyakini berlanjut hingga tahun 2024.
Pemungutan suara diwarnai dengan penundaan yang lama di TPS, di mana beberapa TPS bahkan tidak dibuka sepanjang hari. Pemungutan suara bahkan diperpanjang hingga Kamis di beberapa wilayah di negara kaya mineral dengan 44 juta pemilih terdaftar.
Beberapa kandidat oposisi menyerukan agar pemilu dibatalkan. Presiden petahana Félix Tshisekedi unggul jauh dalam perolehan suara, yang disinyalir penuh kecurangan.
Gejolak politik terjadi di tengah konflik bersenjata yang sedang berlangsung di Kongo bagian timur dan kemiskinan yang meluas. Pemberontak M23 muncul kembali di provinsi Kivu Utara di Republik Demokratik Kongo bagian Timur pada bulan November 2021.
Kelompok ini telah dituduh oleh kelompok hak asasi manusia melakukan berbagai kejahatan perang sejak akhir tahun 2022 ketika mereka memperluas serangan. Negara tetangganya, Rwanda, diduga telah mengerahkan pasukan ke Kongo timur untuk memberikan dukungan militer langsung kepada M23.
“Ini bisa memicu ketegangan antara Kigali dan Kinshasa,” kata PBB, di mana Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berulang kali menyuarakan kekhawatirannya mengenai risiko “konfrontasi langsung.”
Myanmar
Perang saudara di negara tetangga RI, Myanmar, telah berlangsung sejak kudeta militer pada Februari 2021. Tindakan keras brutal yang dilakukan setelahnya terhadap protes anti-kudeta memicu peningkatan pemberontakan jangka panjang dari kelompok etnis bersenjata di seluruh negeri.
Pasukan pemerintah dituduh melakukan pengeboman tanpa pandang bulu. IRC khawatir taktik tersebut akan ditingkatkan pada tahun 2024 karena kelompok etnis bersenjata dan pasukan perlawanan telah mencapai kemajuan signifikan di bagian utara negara tersebut.
Pihak militer saat ini menghadapi tantangan dari aliansi tiga kelompok etnis bersenjata di Negara Bagian Shan bagian utara. Ada pula kelompok bersenjata terbesar di wilayah Sagaing di bagian barat laut dan kekuatan perlawanan yang lebih kecil di Negara Bagian Kayah, Negara Bagian Rakhine dan di sepanjang perbatasan India.
“Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, militer harus melawan banyak lawan yang memiliki tekad kuat dan bersenjata lengkap secara bersamaan di berbagai medan,” menurut laporan CrisisWatch terbaru dari Kelompok Krisis Internasional (ICG).
“Hal ini mungkin akan melipatgandakan upaya brutal untuk membalikkan keadaan di medan perang, termasuk taktik bumi hangus dan pemboman tanpa pandang bulu dalam beberapa minggu mendatang,” tambahnya.
Sahel
Negara-negara di Sahel telah mengalami serangkaian kudeta militer selama beberapa tahun terakhir. Ini merupakan respons terhadap meningkatnya ketidakstabilan ketika pemerintah berjuang untuk mengatasi pemberontakan militan Islam yang menyebar di seluruh wilayah tersebut.
Sahel mencakup sabuk semi-kering di Afrika tengah-utara antara Gurun Sahara dan kawasan sabana. Lalu Burkina Faso, Kamerun, Chad, Gambia, Guinea, Mauritania, Mali, Niger, Nigeria, dan Senegal.
Mali, Niger, Burkina Faso, Guinea dan Chad semuanya mengalami kudeta dan ketidakstabilan parah dalam tiga tahun terakhir. Arradon dari ICG mengatakan masalah keamanan telah diperparah dengan dampak perang saudara di Libya Utara, yang mengakibatkan banjirnya senjata bergerak ke Selatan.
“Jadi konteks keamanan keseluruhan dimana masyarakat merasa terabaikan, ditambah kemudahan akses terhadap senjata, memang telah menciptakan risiko keamanan yang semakin besar di wilayah Sahel, dan ketidakpuasan dari masyarakat ini semakin meningkat,” tambahnya.
Selain itu, IGC juga mempunyai kekhawatiran besar mengenai potensi pecahnya konflik bersenjata di Haiti, Guatemala, Etiopia, dan Kamerun. Resiko serangan China ke Taiwan juga meningkat.