Oleh: Prabowo Subianto [diadaptasi dari “Transformasi Strategis Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045”, halaman 41-43, edisi softcover ke-4]
Menurut prediksi banyak pakar, termasuk dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia hanya memiliki 13 tahun sejak 2023 untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Dalam 13 tahun mendatang, ekonomi Indonesia harus tumbuh dengan cepat di atas 6%—tantangan yang besar mengingat angka pertumbuhan ekonomi rata-rata global hanya 2%. Selain itu, kita tidak hidup dalam isolasi, dan dunia saat ini menghadapi berbagai krisis.
Pada Oktober 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan, “Tantangan di depan tidak semakin ringan namun semakin berat. Dunia tidak dalam keadaan yang baik. Ada perang, perubahan iklim, dan krisis pangan.”
Perubahan Iklim
Bulan September 2023 merupakan bulan September dengan suhu terpanas sepanjang sejarah bumi. Kenaikan suhu global ini disebabkan oleh peningkatan aktivitas manusia sejak revolusi industri pada tahun 1760-an, yang melibatkan pembakaran bahan bakar fosil dan peningkatan konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer.
Pada tahun 2015, 195 negara termasuk Indonesia menandatangani Perjanjian Paris, berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global maksimal 2 derajat Celsius di atas level pra-industri. Hal ini dapat dicapai dengan beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi baru dan terbarukan.
Oleh karena itu, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah berjanji untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru, mencoba pensiun dini pembangkit yang lebih tua, memberikan insentif untuk kendaraan listrik, dan mengembangkan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan seperti surya (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), panas bumi, dan air (Pembangkit Listrik Tenaga Air).
Pada tahun 2023, Indonesia juga meluncurkan pasar perdagangan karbon untuk memfasilitasi dan mempercepat insentif ekonomi untuk mencegah deforestasi dan proyek reforestasi.
Namun, upaya global untuk mencapai emisi gas rumah kaca net-zero belum optimal. Tahun ini, rata-rata suhu global telah mencapai 1,5 derajat Celsius di atas level pra-industri.
Dampak dari kenaikan suhu ini dirasakan tidak hanya di luar negeri tetapi juga di Indonesia.
Perubahan iklim telah menyebabkan kekeringan dan curah hujan ekstrem yang mengurangi produksi pangan, meningkatkan ketidakamanan pangan, menaikkan harga pangan, dan mengancam nyawa.
Kenaikan permukaan air laut juga mengancam nyawa penduduk Indonesia yang tinggal di pulau-pulau kecil dan daerah pantai. Bagian-bagian Jakarta bahkan diprediksi akan tenggelam dalam 20-30 tahun ke depan jika tidak diambil tindakan.
Ini berarti bahwa kita harus segera mengembangkan kemampuan tambahan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Sebagai contoh, petani kita harus memiliki akses ke benih yang lebih tahan kekeringan. Rumah para nelayan kita di pantai harus lebih kuat untuk bertahan dari gelombang badai yang semakin tinggi.
Tantangan ini tidaklah mudah karena akan memerlukan sumber daya finansial yang signifikan dan kapasitas adaptasi yang tinggi.