Arthur B. Laffer, pencetus teori Kurva Laffer, menyoroti dampak kenaikan tarif pajak terhadap kelas menengah atas dalam suatu negara. Menurutnya, tiap kenaikan tarif pajak 1% untuk golongan ini bisa berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak, dan tingkat kemiskinan. Berdasarkan risetnya terhadap kebijakan perpajakan di Amerika Serikat sejak awal abad ke-20, Laffer menemukan bahwa kenaikan tarif pajak terhadap golongan berpenghasilan tinggi dapat mengakibatkan tekanan ekonomi, terutama terhadap rakyat miskin. Di sisi lain, penurunan tarif pajak bagi golongan tertinggi justru dianggap mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, dengan membuka lapangan pekerjaan dan kesempatan usaha yang lebih luas.
Laffer juga menekankan bahwa penerapan tarif pajak yang berbeda-beda antara kelas pendapatan dapat menimbulkan konsekuensi negatif, terutama jika tarif pajak yang sangat tinggi dikenakan pada golongan kaya. Hal ini bisa memicu upaya penghindaran pajak yang merugikan penerimaan negara. Ia mencontohkan kebijakan Gordon Brown di Inggris yang mengalami kegagalan saat menaikkan tarif pajak tertinggi, yang justru berdampak buruk pada perekonomian dan penerimaan pajak.
Di Amerika Serikat, sejumlah negara bagian yang merendahkan tarif pajak penghasilan atau PPh nya mengalami peningkatan kemakmuran. Laffer menunjukkan bahwa negara-negara bagian seperti Nevada, Texas, Tennessee, dan lainnya yang menerapkan kebijakan ini, mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat. Kesimpulannya, penerapan tarif pajak yang seimbang dan tepat sasaran dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.