Lebih dari 80% penduduk Tuvalu, negara kepulauan kecil di Pasifik, telah mendaftar untuk mendapatkan visa iklim ke Australia. Hal ini mencerminkan kekhawatiran akan kenaikan permukaan laut yang mengancam negara tersebut. Menurut Komisi Tinggi Australia di Tuvalu, sebanyak 8.750 warga Tuvalu telah mendaftarkan diri untuk mendapatkan visa tersebut, yang setara dengan 82% dari total populasi Tuvalu. Program visa ini merupakan bagian dari Falepili Union, yang adalah perjanjian bilateral antara Australia dan Tuvalu untuk memberikan jalur mobilitas legal akibat dampak perubahan iklim.
Melalui perjanjian ini, warga Tuvalu memiliki hak untuk tinggal, belajar, dan bekerja di Australia. Visa diberikan melalui sistem seleksi acak dan terbuka bagi semua warga negara Tuvalu berusia di atas 18 tahun dengan biaya pendaftaran AUS$25. Tuvalu, yang terdiri dari sembilan atol karang, sudah mulai mengalami hilangnya sebagian besar daratan akibat gelombang laut, dan para ilmuwan memperkirakan negara ini bisa menjadi tak layak huni dalam 80 tahun ke depan.
Perdana Menteri Tuvalu menyambut baik perjanjian ini sebagai bentuk perlindungan bagi negaranya. Namun, perjanjian ini juga menimbulkan kekhawatiran karena memberi Australia hak suara atas setiap pakta pertahanan baru yang ingin dijalin Tuvalu dengan negara lain. Di sisi lain, posisi geopolitik Tuvalu semakin strategis karena negara ini tetap menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan, bukan dengan Beijing. Semua ini menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan global dalam mengatasi isu perubahan iklim yang tengah mempengaruhi banyak negara, termasuk Tuvalu.