Amerika Serikat (AS) secara tiba-tiba mengecam Israel terkait dengan ketegangan yang terjadi di Timur Tengah. Utusan AS, Tom Barrack, menyerukan kepada pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menghormati komitmen gencatan senjata yang mengakhiri perang dengan Hizbullah, karena pemerintah Lebanon telah memulai proses pelucutan senjata kelompok tersebut.
Menurut perjanjian gencatan senjata, penggunaan amunisi di Lebanon harus diatur, dimana senjata hanya boleh digunakan oleh negara, bukan kelompok tertentu. Israel diwajibkan untuk menarik pasukan mereka sepenuhnya dari Lebanon, meskipun masih mempertahankan pasukan di lima titik perbatasan yang dianggap strategis.
Barrack menyatakan bahwa pemerintah Lebanon telah melakukan bagian mereka dengan mengambil langkah pertama, dan kini Israel perlu mematuhi langkah yang setara. Langkah ini bukanlah hal baru bagi Barrack, yang sebelumnya telah menyampaikan usulan serupa pada bulan Juni dan kembali pada bulan Juli untuk pembicaraan lebih lanjut.
Selain itu, dokumen yang disusun memuat 11 tujuan, termasuk penerapan Perjanjian Taif 1989, kesepakatan rekonsiliasi nasional Lebanon, serta resolusi dan konstitusi Dewan Keamanan PBB. Rencana ini juga menekankan pentingnya senjata hanya dimiliki oleh pasukan negara, yang akan memperluas kedaulatan penuh atas seluruh wilayah Lebanon.
Perang antara Israel dan Hizbullah telah menelan banyak korban mulai dari tahun 2023 hingga meningkat menjadi perang penuh pada tahun 2024, dengan gencatan senjata hampir tercapai pada November 2024. Namun, Israel masih melancarkan serangan di Lebanon selatan hingga batas waktu untuk penarikan pasukan diperpanjang hingga Februari 2025.
Dengan adanya langkah mengecam Israel oleh AS dan upaya untuk memastikan penerapan gencatan senjata, diharapkan situasi di Timur Tengah dapat lebih stabil dan damai di masa yang akan datang.