Jakarta, CNBC Indonesia – Jerman telah lama dikenal sebagai negara produsen mobil mewah dengan kualitas yang tinggi dan penuh inovasi. Memiliki mobil buatan Jerman juga kerap dianggap sebagai simbol status sosial. Namun, citra itu perlahan mulai pudar.
Kondisi industri otomotif Jerman saat ini sedang ‘berdarah-darah’. Seperti yang dialami oleh pabrikan Volkswagen yang menyatakan akan mengakhiri program kesejahteraan dengan karyawannya yang telah dibuat sejak 1994.
“Produsen mobil Jerman hampir tidak memiliki tandingan untuk teknologi dan penjualan dalam hampir 140 tahun, jadi kondisi saat ini sangat tidak biasa,” kata global head of automotive at KPMG, Andreas Ries dikutip dari CNBC International, Sabtu, (7/9/2024).
Kondisi produsen mobil Jerman yang sedang megap-megap itu juga terlihat dari proyeksi penjualan sejumlah merek mobil yang relatif pesimistis. Mercedes misalnya melakukan pemangkasan proyeksi keuntungan tahun ini.
Begitu pula BMW yang menyatakan, keuntungan segmen otomotif pada kuartal-II tahun ini di bawah ekspektasi. Porsche menyusul di urutan ketiga yang memangkas proyeksi pendapatannya pada 2024.
Meredupnya industri mobil ini mau tak mau membuat kekhawatiran akan dampaknya terhadap perekonomian Jerman secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui, industri mobil memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian negara tersebut.
“Ada sebuah ungkapan ‘ketika sektor otomotif Jerman batuk, artinya Jerman sedang pilek,” kata Ries.
Ya, produksi mobil Jerman memang tidak melulu soal para pabrikan besar. Ada ribuan industri menengah dan kecil di seantero Jerman yang juga terkait dengan rantai produksi ini.
Lantas apa yang terjadi dengan kondisi industri otomotif Jerman?
Banyak faktor yang ditengarai berkontribusi pada lesunya industri ini. “Kami menghadapi berbagai tantangan,” kata juru bicara German Association of the Automotive Industry (VDA).
Tantangan pertama yang dihadapi tak terlepas dari kondisi perekonomian dunia setelah pandemi Covid-19. Tensi geopolitik dan tingginya kebutuhan birokrasi di tingkat nasional dan Eropa juga menjadi biang keladi kondisi produsen mobil Jerman yang terpuruk.
Selain itu, industri mobil juga menderita karena lemahnya permintaan domestik yang dipengaruhi oleh kondisi perekonomian Jerman yang juga sedang mengalami pelemahan.
Namun, dua faktor yang disebut-sebut menjadi biang kerok utama dari ambruknya penjualan mobil Jerman adalah China dan transisi ke mobil elektrik. “Kita sedang menghadapi masa yang amat disruptif di mana dampak pengembangan mobil listrik ternyata lebih besar dari yang dibayangkan,” kata Horst Schneider, head of European automotive research at Bank of America.
Schneider mengatakan permintaan telah turun dari yang diantisipasi, sementara kompetisi dengan negara lain makin meningkat. Dia mengatakan pasar mobil China saat ini telah pulih sepenuhnya setelah pandemi, namun itu tidak terjadi di Jerman. Dia menilai fenomena ini menandakan, pangsa pasar mobil Jerman telah diambil alih oleh sang kompetitor asal China.
Schneider menduga mobil listrik asal Jerman sulit berkompetisi karena harganya yang selangit. Sementara China berhasil mengembangkan mobil listrik yang jauh lebih murah. Tensi perdagangan antara China dan Eropa memperburuk kondisi pasar mobil-mobil Jerman.
“Produsen mobil Jerman sangat terpengaruh oleh politik perdagangan, sebelumnya 40% sampai 50% pendapatan berasal dari pasar di China, namun celah pasar itu sekarang makin tertutup… di saat yang sama, kami menghadapi kenyataan bahwa penjualan mobil listrik tidak terlalu menguntungkan dibandingkan penjualan mobil pembakaran internal,” kata Schneider melanjutkan.
Berakhirnya subsidi kendaraan listrik di Jerman juga memperburuk kondisi ini. Rencana untuk menerbitkan kebijakan keringanan pajak untuk mobil listrik tengah dibahas di Jerman.
Secercah harapan terkait masa depan industri otomotif Jerman sebenarnya muncul dengan makin populernya mobil hybrid dan penjualan mobil konvensional yang kembali meningkat. Namun, sejumlah pihak tetap mengingatkan pentingnya kerangka kerja untuk mengatasi permasalahan terkait regulasi dan memfokuskan kembali pada kualitas.
VDA juga melihat perlunya transformasi pada sisi produksi mobil-mobil Jerman. “Kita memerlukan reformasi politik, bukan regulasi. Pragmatisme, bukan manajemen mikro,” kata juru bicara asosiasi tersebut. “Kita memerlukan perpaduan modern antara kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar dan pembentukan kebijakan industri.”
(dce)