portal berita online terbaik di indonesia

Profil Yahya Sinwar: Pemimpin Hamas yang Dicari oleh Israel

Kelompok pejuang Palestina, Hamas, sedang menjadi pusat perhatian dunia internasional. Pada tanggal 7 Oktober lalu, kelompok ini, dengan persenjataan lengkap, berhasil menembus perbatasan antara wilayah Palestina, Gaza, dan Israel, dan melakukan serangan ke wilayah Israel. Serangan ini menyebabkan kematian 1.400 penduduk Israel yang tinggal di sekitar perbatasan. Selain itu, Hamas juga menculik lebih dari 200 warga Israel dan membawa mereka ke Gaza.

Israel sebagai respons kemudian melancarkan serangan udara terberatnya ke Gaza untuk menghancurkan Hamas. Meski menyatakan hanya menargetkan Hamas, namun serangan ini juga telah menewaskan lebih dari 10.000 warga sipil.

Dalam operasinya, Israel bertekad untuk menghancurkan milisi bersenjata ini. Salah satu target utama Israel adalah Kepala Hamas di Jalur Gaza, Yahya Sinwar. Lalu, siapa sebenarnya Yahya Sinwar?

Yahya Sinwar lahir pada tanggal 29 Oktober 1962, di kamp pengungsi Khan Younis. Orang tuanya diusir dari rumah mereka pada tahun 1948 oleh pemukim Israel dan nama mereka diganti menjadi Ashkelon.

Kehidupan Sinwar penuh dengan pengalaman penderitaan sebagai pengungsi dan tumbuh di bawah pendudukan militer di Jalur Gaza. Ayahnya mengatakan bahwa sejak kecil, Yahya memiliki tekad untuk melawan pendudukan Zionis.

Ia meraih prestasi tinggi di sekolah dan melanjutkan studinya di Universitas Islam di Gaza. Di sana, ia membantu mendirikan Blok Islam dan menjadi anggota beberapa organisasi kampus.

Pada tahun 1982, Sinwar dan beberapa anggota organisasi kampus lainnya mengunjungi seorang wanita Palestina di Jenin yang diduga menjadi korban peracunan oleh Israel. Kunjungan ini membuatnya ditangkap dan ditahan tanpa dakwaan selama enam bulan dengan tuduhan terlibat dalam kegiatan Islam subversif.

Selama penahannya, Sinwar berteman dengan aktivis lain seperti Saleh Shehade yang kemudian menjadi pemimpin sayap bersenjata Hamas hingga ia dibunuh pada tahun 2002.

Kemudian, Sinwar bertanggung jawab untuk menyiapkan jaringan keamanan yang dikenal sebagai Majd. Majd beroperasi secara rahasia saat Ikhwanul Muslimin masih bersekutu dengan Hamas, yaitu Mujamma Islamiyya.

Pada tahun 1988, Sinwar ditahan dan diduga disiksa selama enam minggu setelah ditemukan sel bersenjata milik Majd.

Tahun 1989, Hamas melakukan serangan bersenjata besar-besaran pertamanya yang menewaskan dua tentara Israel. Sinwar dianggap bersalah dalam serangan tersebut dan dijatuhi hukuman penjara selama 426 tahun.

Sinwar menjadi pemimpin Hamas yang paling terkenal yang dibebaskan dalam pertukaran tahanan tahun 2011. Setelah itu, ia kembali ke Gaza dan terpilih sebagai pemimpin Hamas di wilayah tersebut menggantikan Ismail Haniyeh.

Pada tahun 2017, Hamas mengubah nama dan kebijakan, menunjukkan bahwa mereka terbuka untuk menerima Solusi Dua Negara. Sinwar memainkan peran utama dalam upaya memperbaiki hubungan antara Otoritas Palestina (PA), yang dipimpin oleh Partai Fatah, dan Hamas, tetapi upaya ini tidak berhasil.

Pada tahun 2018, di bawah kepemimpinan Yahya Sinwar, Hamas mengadopsi kebijakan perlawanan tanpa kekerasan untuk membuka diri terhadap negosiasi diplomatik yang bisa mengakhiri pengepungan di Gaza.

Kepemimpinan Hamas mendukung gerakan protes massal tanpa kekerasan yang dikenal sebagai Great March of Return yang dimulai pada tanggal 30 Maret 2018.

Namun, setelah Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel secara sepihak dan terbunuhnya ratusan pengunjuk rasa tidak bersenjata oleh tentara Israel, Hamas mengubah pendekatannya.

Pada Mei 2021, Hamas melancarkan pertempuran Saif Al Quds yang didukung oleh beberapa kelompok bersenjata lainnya di Jalur Gaza. Sejak itu, Yahya Sinwar menjadi pemimpin yang sangat populer di seluruh dunia Arab.