Sebuah langkah mengejutkan datang dari Presiden Donald Trump yang membatalkan rencana tarif tinggi yang baru saja diberlakukan terhadap puluhan negara, kecuali China. Ini membuat pasar saham global mengalami lonjakan tajam setelah sebelumnya terpuruk akibat ketidakpastian ekonomi yang semakin memburuk akibat perang dagang dengan China. Pasar saham global anjlok, obligasi pemerintah AS mengalami lonjakan imbal hasil yang mengkhawatirkan, dan ketegangan geopolitik semakin meningkat. Namun, Trump mengklaim penangguhan tersebut sudah direncanakan sebagai strategi untuk memaksa negara lain datang ke meja perundingan.
Namun, keputusan Trump memperkeras sikap terhadap China dengan menaikkan tarif menjadi 125% setelah sebelumnya sudah memberlakukan tarif sebesar 104%. China pun memberikan balasan dengan mengenakan tarif balasan sebesar 84% terhadap produk AS. Akibatnya, perusahaan-perusahaan China yang menjual produk melalui Amazon mulai menaikkan harga atau bahkan mempertimbangkan keluar dari pasar AS. Meski demikian, Trump masih menyiratkan kemungkinan kesepakatan dengan China, namun prioritasnya saat ini adalah menjalin perjanjian dengan negara lain terlebih dahulu.
Seiring dengan hal itu, China mulai membuka dialog dagang dengan Uni Eropa dan Malaysia untuk memperkuat kerja sama regional. Namun, tidak semua negara bersedia ikut dalam orbit Beijing. Australia, misalnya, menolak tawaran China untuk bekerja sama dalam menghadapi tarif AS. Wakil Perdana Menteri Australia, Richard Marles, menegaskan bahwa mereka tidak akan bergandengan tangan dengan China dalam konflik global ini. Sesuai pernyataan Trump, China dianggap masih ingin mencapai kesepakatan, namun belum menemukan cara yang tepat.