Ketegangan geopolitik global semakin memanas, memicu perdebatan sengit dalam pertemuan menteri luar negeri NATO di Antalya, Turki. Diskusi difokuskan pada usulan Amerika Serikat untuk meningkatkan anggaran pertahanan secara signifikan dalam menghadapi potensi ancaman dari Rusia, terorisme, dan pengaruh militer China. Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, menekankan perlunya langkah cepat dalam meningkatkan investasi pertahanan untuk merespons perubahan ancaman global yang semakin kompleks.
Rusia diperingatkan akan membangun kembali kekuatan militernya dalam tiga hingga lima tahun ke depan setelah konflik di Ukraina selesai. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, bahkan mengusulkan agar negara-negara anggota NATO mengalokasikan hingga 5% dari PDB mereka untuk pertahanan pada tahun 2032. Usulan ini termasuk belanja militer inti dan infrastruktur pendukung seperti pelabuhan dan jaringan logistik.
Dalam konteks yang lebih luas, perdebatan ini juga mencakup arah geopolitik yang di Istanbul Rusia dan Ukraina mulai melakukan pembicaraan damai pertama dalam tiga tahun terakhir. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menawarkan pertemuan langsung dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, namun tawaran itu ditolak oleh Kremlin. Sementara itu, Presiden Trump mendorong pertemuan tersebut meskipun tidak berharap banyak pada hasilnya.
Di sela pertemuan, dilakukan pertemuan bilateral antara Rubio dan Menteri Luar Negeri Suriah, menandakan upaya Diplomasi regional. Diskusi juga mengarah pada strategi pemerintahan Trump terhadap China, meski NATO secara formal tidak memiliki mandat keamanan di Asia. Semua ini terjadi dalam konteks kekhawatiran akan kegagalan NATO dalam menghadapi tantangan global yang semakin rumit. Seperti yang ditegaskan Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, perlunya pernyataan bersama yang tepat dalam menggambarkan ancaman Rusia dan Ukraina serta mempertimbangkan masa depan Eropa. Washington bahkan menolak wacana keanggotaan Ukraina di NATO untuk saat ini.
